Rabu, 16 Juli 2008

Apa Benar Ada...?

Sekedar pertimbangan saja untuk yang baru belajar menggeluti dunia "perbelutan"..
Bukan berarti saya mematahkan semangat para belutters baru atau saya mencoba mencekal keberhasilan orang lain. Ini adalah pengalaman pribadi saya selama menggeluti dunia "perbelutan" ini.

Saya mungkin jenis orang yang selalu berhati-hati, malah kata sebagian teman saya, saya malah terkadang terlalu berhati-hati, sehingga kadang usaha saya kandas. Mungkin ini juga yang terjadi pada saya di bisnis belut ini. Saya mulai bisnis belut ini sebagai penjual. Saya mengambil belut-belut yang saya jual dari "peternak-peternak" diseputar Bandung, Jogja, Pati, Semarang, dan beberapa kota lain di Jawa.

Mengapa tulisan ini saya beri judul "Apa Benar Ada...?".. Ini ada hubungannya dengan belut-belut yang saya kumpulkan dari beberapa daerah yang saya sebut tadi. Mengenai prospek bisnis belut saya tidak ragu untuk menyebut bahwa bisnis ini sangatlah menjanjikan dengan pesaing yang masih sangat minim jika dibanding dengan jumlah permintaan pasar akan komoditi ini.

Yang saya soroti disini adalah mengenai keberadaan para peternak belutnya. Apa memang benar ada yang namanya peternak belut itu? Pertanyaan saya ini bukan tanpa dasar. Saya banyak mendapat permintaan belut dari calon pembeli (sangat sering malah), baik yang mencari bibit maupun belut yang siap konsumsi dari lokal maupun luar negeri. Untuk memenuhi permintaan ini saya memasok dari beberapa tempat seperti yang saya sebut diatas, tapi biar bagaimanapun tetap saja kurang pasokan, karena dengan pasokal belut berasal dari hasil tangkapan alam maka jumlah stok tidak stabil. Nah, guna menuntaskan masalah tersebut saya lalu mencari lagi pemasok belut yang benar-benar dari hasil ternak, dan selama hampir 6 bulan ini Alhamdulillah belum satupun pemasok yang saya temukan benar-benar memiliki kolam ternak sendiri, kalaupun ada kapsitas produksinya masih sangat jauh dari pemenuhan permintaan.

Hal ini lalu membuat saya bertanya...apa benar ada para peternak belut itu...? Jangan-jangan selama ini hanya dongeng belaka... Entah saya yang memang belum menemukan, atau memang peternak belut itu judul artikel saja..siapa tau..
Jiaka ada pembaca yang mungkin mengetahui dimana letak para peternak yang misterius ini..mungkin kita bisa saling menguntungkan..

Sabtu, 28 Juni 2008

Angin Segar Untuk Ekspor Belut ke Cina

Ada angin segar dari pemerintah mengenai pangsa pasar ekspor belut ke Cina setelah beberapa waktu lalu sempat dilarang oleh pemerintah Cina. Berikut beritanya :

JAKARTA – Pemerintah menargetkan ekspor produk perikanan ke Tiongkok bakal meningkat lima kali lipat pada tahun 2010. Jika saat ini ekspor ke negeri ginseng itu mencapai USD 60 juta (Rp 552 miliar), pada tahun 2010 diperkirakan menjadi USD 300 juta (Rp 2,76 triliun).

Dirjen Pengolahan dan Perikanan Hasil Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Martani Huseini mengatakan, Tiongkok mengizinkan kembali ijin impor produk perikanan dari Indonesia sejak 5 Januari lalu. Hal itu menjadi potensi besar bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspornya ke Tiongkok. “Budidaya perikanan di Tiongkok terkendala empat musim, sedangkan kita bisa sepanjang waktu,” ujarnya.

Martanai menjelaskan, Indonesia selama ini banyak mengekspor produk aquatic dari berbagai jenis, seperti ikan hidup, ikan kering, maupun produk olahan lainnya. Kedepan, komoditi belut diperkirakan bakal menjadi produk ekspor andalan Indonesia ke Tiongkok. Selama ini, produksi belut first grade (kelas satu) Tiongkok diekspor ke Jepang, sementara kelas duanya (second grade) kosong. “Untuk itu kita akan pasok belut second grade ke Tiongkok,” tuturnya.

Pencabutan larangan ekspor produk aquatic ke Tiongkok, bukan atas dasar politis namun karena Tiongkok telah percaya produk perikanan Indonesia masuk jaminan mutu. Selain itu, kedua negara sepakat mengakiri kesalahpahaman yang dinilai memicu retaliasi (pembalasan) pelarangan dari Tiongkok. “Kedepan kita hanya mengizinkan perdagangan oleh eksportir terdaftar, selain itu ada kesepakatan tentang penunjukan laboratorium penguji,” jelasnya.

Ia hanya menyesalkan, adanya perbedaan data ekspor produk perikanan (aquatic) dari Indonesia ke Tiongkok yang dicatat oleh kedua negara. Indonesia mencatat ekspor produk perikanan selama tahun 2007 sebesar USD 60 juta, sedangkan Tiongkok mencatat sebesar USD 150 juta, atau selisih USD 90 juta (Rp 828 miliar). “Selisih nilai itu ditengarai banyak disumbang dari perdagangan illegal melalui berbagai cara,” tambahnya.

Ekspor illegal itu sebagian juga disumbang oleh adanya perdagangan tidak langsun produk aquatic Indonesia melalui Hongkong. Pedagang dari Indonesia lebih suka menjual produk aquatic-nya melalui Hongkong, sebab negara itu memebrikan banyak fasilitas serta pengurangan bea masuk. Setelah itu secara mudah mereka mendistribusikan ke Tiongkok. “Perbedaan angka ini sangat besar, sehingg harus menjadi perhatian khusus kita,” jelasnya. (wir)

Optimis tanpa mengeluh..pasti bisa !!!

Jumat, 27 Juni 2008

Antara Harapan dan Realita

Ingin komoditi ternak yang bisa hasilkan uang banyak dalam hitungan bulan? Kebanyakan pasti langsung tertuju ke Belut. Hal ini wajar, karena memang saat ini komoditi belut sangat-sangat dicari baik pada pasar lokal maupun luar negeri. Permintaan belut dalam negeri saat ini juga menunjukan permintaan yang cukup signifikan. Dari hasil tanya jawab dengan bandar belut dari daerah Majalaya, Ia nertutur bahwa Ia mampu menjual belut konsumsi sebanyak 5 ton/hari untuk pasar lokal sekitar Bandung, Sumedang, dan Jakarta. Ini baru dari 1 penjual. Bisa dibayangkan jumlah total penjualan secara nasional.

Pasar manca negara juga saat ini mulai melirik komoditi ini setelah sebelumnya Taiwan, Filipina dan Malaysia merajai pasar manca negara. Permintaan yang konon sangat besar ini sungguh merupakan suatu angin surga bagi para pembudi-daya baik pemula maupun yang telah lama menggelutinya. Angka-angka keuntungan membayangi pikiran para enterpreneur dalam bidang ini. Bagaimana tidak, tingkat keuntungan bisa meningkat beberapa kali dari modal yang dikeluarkan. Dengan rata-rata harga bibit belut saat ini yang berkisar antara Rp. 20.000-Rp. 30.000 per-kilonya yang berisi antara 100-150 ekor belut bisa menjadi sekitar 10 kali lipat dalam 4 bulan. Itu juka dijual pada pasaran lokal, jika dilempar kepasar manca negara bisa lebih besar lagi, mengingat harga pasaran untuk ekspor belut saat ini berkisar USD. 4-5.

Untung yang besar ini konstan membuat orang beramai-ramai terjun menggeluti komoditi ini. Namun belakangan mulai terdengar keluhan dan suara-suara yang putus asa menyangkut pembudi-dayaan belut ini. Hal ini diperkirakan karena mereka belum begitu mengenal pengolahan budi-daya ini terlebih dahulu sehingga ujicoba yang dilakukannya untuk mengais untung berujung kerugian.

Belut ternyata bukan jenis hewan yang mudah ditaklukkan. Tidak seperti ikan lele atau komoditi perikanan lain yang relatif lebih mudah penanganannya. Banyak yang menyediakan buku panduan bagaimana cara membudi-dayakan belut, namun sejauh ini angka kegagalan masih dirasa cukup tinggi. Hal ini tentu saja menjadi PR bagi pihak-pihak yang terkait untuk menanganinya.

Antara yang rugi dan yang telah mengais keuntungan berimbang jumlahnya. Banyak yang gagal, namun tak sedikit juga yang berhasil dan menceritakan kisahnya. Mungkin ketekunan dan kerja keras yang dibarengi keinginan kuat akan mampu menjawab persoalan ini.

Sebagai bahan pertimbangan sebelum anda-anda memutuskan untuk menggeluti bidang ini :

=====================
HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Sabtu 7 April 2007
http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2007/042007/07/0602.htm

Tidak Termasuk pada Komoditas Ekspor
Budi Daya Belut tak Ada Jaminan

BANDUNG, (PR).-
Masyarakat diminta berhati-hati dalam merespons anjuran sejumlah pihak, untuk membudidayakan belut dengan iming-iming pasaran ekspor. Pasalnya, belakangan ini banyak masyarakat tergiur membudidayakan hewan sawah itu walau secara teknis belum ada jaminan kelayakan usaha.

Pengurus Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), Muhamad Husen, di Bandung, beberapa waktu lalu mengatakan, sejauh ini budi daya belut belum pernah dilakukan. Kalaupun dipaksakan, tak berhasil. Hewan belut memang laku keras di pasaran, namun selama ini pasokannya praktis dari hasil tangkapan.

“Masyarakat agar lebih jeli dalam menerima anjuran pembudidayaan belut karena yang dapat dibudidayakan adalah jenis sidat. Kedua hewan ini mirip namun tak sama, di mana sidat sudah dibudidayakan secara bisnis oleh perusahaan tertentu untuk ekspor,” ujarnya.

Maraknya masyarakat mencoba membudidayakan belut terjadi setelah banyaknya kampanye, baik melalui diskusi maupun pelatihan pembudidayaan belut. Namun, sejauh ini pertanggungjawabannya belum jelas, begitu pula bukti fisik pembudidayaan dan secara bisnis. Oleh para penganjur budi daya belut, masyarakat dikabari harga belut hasil budi daya Rp 30.000,00/kg untuk ekspor.

Muhamad Husen menduga, praktik-praktik bujukan pembudidayaan belut ini sekadar tipu daya dari sejumlah pihak yang sebenarnya memiliki tujuan lain. Namun, masyarakat umum yang menjadi korban karena mengikuti anjuran pihak-pihak tak bertanggung jawab, seperti saat ramai-ramai membudidayakan cacing beberapa tahun lalu.

Secara terpisah, Kasi Perlindungan Dinas Perikanan Jabar, Piter R., serta Humas Mardiani, mengatakan, puluhan orang asal Bandung dan Cimahi mengadu ke Dinas Perikanan Jabar karena kebingungan akibat kegagalan usaha pembudidayaan belut. Mereka mengaku mempelajarinya dari sejumlah orang yang menggelar seminar dan pelatihan budi daya belut baru-baru ini.

“Setahu kami, para penganjur budi daya belut ini banyak memberikan informasi fiktif tentang usaha mereka, dengan modus ingin memperoleh kredit dari bank. Padahal dari analisis usaha, pembudidayaan belut sebenarnya merugi karena untuk kenaikan 1 kg belut dibutuhkan 10 kg pakan daging-dagingan karena hewan itu termasuk karnivora (pemakan daging),” kata Piter.

Dikatakan Piter, dengan analisis usaha seperti ini, harga belut harus mencapai Rp 100.000,00/kg dari pembudi daya. Dengan harga sebesar itu, tak diyakini ada pembeli yang berminat, dibandingkan harga sidat yang hanya Rp 50.000,00 atau mengusahakan ikan lele dengan harga bersaing. Di lain pihak, usaha perdagangan belut pun ternyata secara ekspor tak masuk dalam daftar yang diumumkan Ditjen Budidaya Perikanan Departemen Perikanan dan Kelautan. (A-81)***

==============

Permintaan tinggi

Bak itu sekadar tempat singgah. Setelah 1-2 hari dikarantina, belut yang terkumpul itu disortir. Belut kualitas ekspor dipilih berbobot 200-250 g/ekor dan panjang 40-60 cm. Syarat lain: kulit mulus dan lincah bergerak. Belut kemudian dikemas dalam kantong plastik berdiameter 50 cm, lalu diberi 2 liter air. Satu kantong plastik berisi 20 kg. Setelah diberi oksigen, kantong itu diikat dan dimasukkan ke dalam dus ukuran 70 cm x 70 cm x 60 cm untuk keesokan hari diangkut ke bandara.

Ardiyan menerbangkan 4-5 ton/bulan belut ke Singapura, Hongkong, dan Korea. Dengan harga jual US$4,5 atau setara Rp40.950 per kg (kurs 1 US$D=Rp9.100), Ardiyan meraup omzet Rp163,8-juta-Rp204,7-juta/bulan. Setelah dikurangi biaya pembelian belut dari para plasma, ongkos kirim, dan biaya operasional lain, Ardiyan mengutip laba Rp5.000-Rp7.000/kg. Setidaknya Rp20-juta-Rp35-juta mengalir ke koceknya setiap bulan.

Jumlah itu tak seberapa dibanding banyaknya permintaan yang terus mengalir. 'Singapura minta dipasok 1 ton/hari, Hongkong 5-10 ton/pekan, dan Korea 3 ton/hari,' tutur alumnus Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Solo itu. Beberapa negara Uni Eropa seperti Belanda dan Belgia juga menanti pasokan masing-masing 23 ton dan 20 ton per tahun.

Menurut Pusat Informasi Pasar Asia Pasifik Kedutaan Besar Kanada di Beijing, Cina, selain Hongkong dan Korea, negara konsumen belut lainnya adalah Jepang, Amerika Serikat, dan Kanada. Jepang terbesar dengan kebutuhan 130.000-140.000 ton/tahun. Pasokan selama ini diperoleh dari Cina. Negeri Tirai Bambu itu dikenal sebagai produsen belut terbesar di dunia. Ia memasok 70% dari total kebutuhan belut dunia yang mencapai 230.000 ton/tahun. Artinya, ceruk pasar belut dunia yang belum terisi sekitar 69.000 ton per tahun.

Badan Pusat Statistik mencatat, volume ekspor dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada 2004, volume ekspor hanya 42.581 kg. Setahun berikutnya melonjak menjadi 106.687 kg.

Permintaan belut tak hanya mengalir dari mancanegara. Ardiyan menuturkan pasar lokal juga menantang. Sentra makanan olahan di Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, butuh pasokan 7-8 ton/hari, Solo dan Klaten 8 ton/hari, dan Jakarta 2 ton/hari. Dari jumlah itu baru sekitar 500-700 kg/bulan yang terpenuhi.
Budidaya

Peluang itulah yang kini dikejar Ardiyan. Namun, pasokan yang seret menjadi batu sandungan. Padahal harga beli yang ditawarkan cukup menggiurkan, Rp20.000/kg kualitas ekspor. Harga itu jauh lebih tinggi ketimbang harga di pasar lokal, Rp9.000-Rp12.000 per kg.

Pasokan seret lantaran Ardiyan mengandalkan belut tangkapan alam. 'Jumlah peternak belut saat ini masih sedikit,' katanya. Akibatnya, ketersediaan pasokan bergantung kondisi alam. Pasokan melimpah saat hujan. Saat kemarau sebaliknya. Selain itu, ukuran belut hasil tangkapan alam beragam. 'Rata-rata hanya 30% yang memenuhi syarat ekspor,' katanya.

Kurangnya pasokan belut membuat PT Budi Menani Agung, eksportir belut di Jakarta, terpaksa mengurangi frekuensi pengiriman ke Cina. Pengiriman yang semula 3 kali seminggu kini hanya 2 kali. Sekali kirim rata-rata mencapai 1 ton.

Ardiyan berharap kekurangan pasokan itu dapat dipenuhi para peternak. Oleh sebab itulah ia rela mengunjungi berbagai daerah untuk menjaring peternak mitra. Ardiyan pun menjamin menampung hasil panen. Harga belut kualitas ekspor Rp20.000/kg.
Kian ramai

Sejak diekspose Trubus pada September 2006, perbincangan bisnis belut di situs Trubus kian ramai. Begitu juga milis-milis di situs lain. Pelatihan budidaya belut yang diselenggarakan selalu kebanjiran peserta. Bahkan, kini berdiri klub budidaya belut yang anggotanya mencapai 105 orang.

Kisah sukses Sonson Sundoro, Ruslan Roy, Hj Komalasari, dan M Ara Giwangkara juga turut mendorong minat para investor. (baca: Mari Rebut Pasar Belut, Trubus edisi September 2006). Mereka lebih dulu mendulang laba dari belut. Menurut hitung-hitungan Ardiyan, investasi awal untuk pembuatan kolam terpal luasan 6 m x 7 m sekitar Rp890.000. Ditambah biaya produksi Rp1.529.000, total biaya mencapai Rp2.419.000.

Dari 20 kg bibit isi 200-220 ekor/kg, diperkirakan menghasilkan 300 kg setelah 4- 5 bulan pemeliharaan. Dengan harga jual Rp20.000/kg (harga kualitas ekspor), total omzet Rp6-juta. Setelah dikurangi biaya produksi, total keuntungan mencapai Rp3.581.000/musim tebar atau Rp716.200-Rp895.250/bulan. Itu keuntungan di awal investasi. Pada periode tanam berikutnya, laba lebih tinggi yaitu Rp4.471.000V/musim atau Rp894.200-Rp1,1-juta/bulan.

Pantas bila para peternak baru bermunculan di berbagai daerah seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Salah satunya Tjandra Warasto di Parung, Bogor, menggelontorkan ratusan juta rupiah untuk membangun 24 kolam permanen berukuran 5 m x 5 m. Pada September 2006, ia menebar 240 kg bibit. 'Akhir Maret ini diharapkan sudah bisa dipanen,' kata pengusaha periklanan itu.

Nun di Boyolali, Jawa Tengah, Muharni juga tergiur menggeluti belut. Lahan seluas 60 m2 di belakang rumah disulap menjadi 8 kolam berukuran 2 m x 3,5 m. Empat di antaranya telah diisi 49 kg bibit. Ibu 2 anak itu memperkirakan akan panen pada Mei 2007.

Di beberapa daerah, kelompok-kelompok pembudidaya belut mulai bermunculan. Dony Fitriandi ST MT, menghimpun 25 peternak di Sragen, Jawa Tengah, untuk mengelola 100 kolam. Arsitek alumnus Universitas Negeri Sebelas Maret itu juga membuat 3 kolam seluas 24 m2. Di Magetan, Jawa Timur, Ardiyan membina plasma yang mengelola 300 kolam.
Sarat kendala

Sayang, pesatnya laju pertumbuhan peternak belut itu tak diimbangi pasokan bibit yang memadai. Menurut pengalaman beberapa peternak, pembibitan belut sulit. Selain itu, hingga kini belum ada penelitian soal perlakuan yang dapat memacu reproduksi belut. Wajar bibit tangkapan alam diburu. Hal itu turut memicu kenaikan harga. 'Kalau dulu Rp10.000/kg, sekarang rata-rata Rp27.500/kg,' ujar Hj Komalasari, penyedia bibit di Sukabumi, Jawa Barat.

Bibit alam juga bukan garansi sukses. 'Dari 100 kg bibit yang ditebar, separuhnya mati,' kata Catur Budiyanto, peternak di Gunungputri, Bogor. Pengalaman pahit juga dialami Ganjar Ariacipta. Lima belas kilogram bibit yang ditebar di kolam berukuran 3 m x 5 m seluruhnya mati. 'Mungkin airnya kurang cocok,' kata peternak di Sadang Serang, Bandung, itu.

Ardiyan menduga, bibit mati akibat penangkapan dengan setrum. Arus listrik menyebabkan belut stres. Kalaupun bertahan hidup, pertumbuhannya pasti terhambat. Oleh sebab itu, pilih bibit yang ditangkap dengan bubu. Media matang juga penting. Cirinya: air di dalam kolam tidak berubah warna dan tidak berbau. Hindari penebaran bibit dalam jumlah besar. Masukkan dulu 1-5 bibit. Bila belut menelusup ke dalam media, pertanda media siap digunakan. Namun, bila beberapa waktu belut tetap di permukaan, media belum matang benar.

Ardiyan menuturkan, teori-teori dan praktek di lapangan seringkali berbenturan. 'Media yang saya ramu sesuai dengan yang dianjurkan dalam pelatihan. Tetap saja mati,' kata Catur. 'Karena itu, peternak mesti berani bereksperimen,' ujar Ardiyan. Lihat yang dilakukan Wawan, peternak di Bandung. Ia memberi kotoran cacing alias kascing pada media. Alhasil, dari 15 kg bibit berisi 100 ekor/kg, dapat dipanen 75 kg belut berbobot rata-rata 100 g/ekor dalam waktu 4 bulan.

Meski Wawan berhasil, tapi tak mudah memasarkan belut. Rona bahagia di wajah Wawan seketika muram saat eksportir yang berjanji menampung panennya susah ditemui. Khawatir belut-belut itu mati, Wawan melepas ke pasar becek dengan harga Rp11.000/kg. Harga itu jauh lebih rendah ketimbang janji muluk eksportir Rp20.000 kg. 'Saya hanya mengantongi Rp825.000,' ujar Wawan.
Oligopsoni

Hasil lacakan Trubus, saat ini baru terdapat 4 eksportir belut: Sonson Sundoro (PT Dapetan Eel Farm, Bandung), Ruslan Roy (PT Dapetin, Jakarta), Ardiyan Taufik (Jakarta dan Solo), dan Hidayat Wijaya (PT Budi Menani Agung, Jakarta). Jumlah eksportir yang masih sedikit itu dikhawatirkan menciptakan kondisi oligopsoni: pemasok bertambah banyak sementara pembeli terbatas. Kondisi itu melemahkan posisi tawar peternak. Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila kelak pasar jenuh dan jumlah peternak kian bertambah.

Oleh sebab itu, Tjandra tak mau menyandarkan pasar pada para eksportir. Ia giat menciptakan pasar sendiri. Pria 39 tahun itu menampung belut dari para penangkap di seputar Jabodetabek lalu dijual ke pasar lokal. Meski baru beberapa bulan berjalan, kini ia menjual setidaknya 500-1.000 kg/bulan. Dengan begitu, Tjandra berharap pasar belut tetap melaju. (Imam Wiguna/Peliput: Hermansyah)

==============

Pertimbangkanlah.....